Hasil
Diskusi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
Rabu
Pukul. 10:40 Gedung 1, R.35
Oleh:
Kelompok
5
Ikrimatul
Husna (110210301004)
Lilik
Sunarsih (110210301021)
Tohirotul
Maghfiroh (110210301046)
Arik
Kristanto (110210301048)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
Semester
Genap 2011-2012
·
Latar
Belakang
Tanah
air Indonesia merupakan karunia Tuhan bagi semua orang yang menghuninya. Dan
kemajemukan bangsa dan masyarakat Indonesia juga merupakan rahmat Tuhan yang
layak disyukuri, dipelihara dan dijunjung tinggi dengan semangat kebersamaan
dan kesetaraan. Di atas tanah air tercinta inilah, atas dasar ideologi
Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan untuk melindungi
dan menaungi seluruh warga negara, tanpa memandang ras, jenis kelamin, warna
kulit, adat istiadat, maupun agama dan kepercayaan.
Akan
tetapi, setelah enam dasawarsa perjalanan NKRI, disaksikan masih suburnya
praktik-praktik diskriminasi dan penafian atas hak-hak kebebasan berkeyakinan.
Padahal hak-hak itu merupakan gugusan hak paling asasi yang dianugerahkan Tuhan
pada segenap manusia, dan itu tak dapat dikurangi dalam bentuk apapun, oleh
siapa pun, dan dalam keadaan apapun.
·
Dasar-Dasar
Perlu Diperjuangkannya Hak Beragama dan Berkeyakian
1. Pancasila,
sila I, berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
2. UUD
1945 Amandemen
·
Pasal 28 I, ayat 1,
menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”;
·
Pasal 28E ayat (1) yang
menyatakan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya….”;
·
Pasal 28E ayat (2)
berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”;
·
29 ayat (2) bahwa, ”Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”.
3. QS.
Al-Kafirun:6, yang berbunyi “bagimu
agamamu dan bagiku agamaku”.
Selain
UUD 1945 yang telah diamandemen yang merupakan karya jenius para pemimpin
bangsa yang arif itu, bangsa Indonesia yang menjadi bagian dari masyarakat
internasional juga telah meratifikasi beberapa kovenan internasional, terutama
menyangkut hak-hak asasi manusia, seperti Deklarasi HAM Universal 1948, Kovenan
Internasional Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Kovenan
Internasional Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Untuk itu, tak ada
alasan bagi pemerintah untuk tidak konsekuen mengikuti kesepakatan-kesepakatan
internasional tersebut di samping menunaikan amanat konstitusi kita sendiri.
Kini,
kami sebagai mahasiswa sangat prihatin terhadap pemerintah dan khususnya aparat
keamanan yang tidak memberi tanggapan memadai dan tidak menunjukkan sikap yang
tegas ketika sekelompok orang menggunakan cara-cara kekerasan dalam memaksakan
kehendak dan keyakinan mereka. Cara-cara kekerasan yang digunakan itu, baik
secara fisik maupun berbentuk intimidasi dan teror, merupakan praktik-praktik
yang tak dapat dibenarkan oleh pola kehidupan negara yang demokratis dan
beradab.
Tidak
adanya sikap tegas pemerintah, khususnya aparat keamanan, kami nilai telah
melenyapkan rasa aman warga negara, menyuburkan syak wasangka antar-kelompok,
dan menghancurkan sendi-sendi keadaban publik kita. Kesatuan dan persatuan
bangsa kini berada di ujung tanduk.
Kebebasan
beragama ialah prinsip yang menyokong kebebasan individu atau
masyarakat, untuk mengamalkan agama
atau kepercayaan
dalam ruang peribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk
menukar agama dan tidak mengikut mana-mana agama. Dalam negara yang mengamalkan
kebebasan beragama, agama-agama lain bebas diamalkan dan ia tidak menghukum
atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain daripada agama resmi. Perkara
18 dalam Kovenan Antarbangsa PBB tentang Hak-Hak Sivil dan Politik menyatakan
dasar yang menafikan kebebasan seseorang untuk mengamalkan agamanya merupakan
satu kezaliman rohaniah. Kebebasan beragama merupakan satu konsep perundangan
yang berkaitan, tetapi tidak serupa dengan toleransi agama, pemisahan
di antara agama dan negara, atau negara sekular.
Musdah Mulia
berpendapat bahwa secara normatif kebebasan beragama mengandung delapan unsur.
1. Kebebasan bagi setiap orang menganut agama atau kepercayaan atas
dasar pilihan bebas, termasuk bebas berpindah agama atau kepercayaan.
2. Kebebasan memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam bentuk
ritual dan peribadatan.
3. Kebebasan dari segala bentuk pemaksaan.
4. Kebebasan dari segala bentuk diskriminasi. Negara wajib menghormati
dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam
wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, gender,
pilihan politik, dan sebagainya.
5. Kebebasan yang mengakui hak orang tua atau wali. Negara berkewajiban
menghormati kebebasan orang tua dan wali untuk menjamin bahwa pendidikan agama
dan moral bagi anak-anak mereka adalah sesuai dengan pemahaman agama mereka.
6. Kebebasan bagi setiap komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau
berserikat.
7. Kebebasan bagi setiap orang untuk memanifestasikan ajaran agama
hanya dapat dibatasi oleh UU. UU dibuat demi kepentingan melindungi keselamatan
dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang
lain.
8. Negara menjamin pemenuhan hak kebebasan internal bagi setiap orang,
dan itu bersifat non-derogability.
Lebih
lanjut, Musdah mengatakan, kedelapan unsur jika diimplementasikan dengan baik
dalam kehidupan masyarakat akan terwujud suasana damai penuh toleransi. Setiap
komunitas agama akan menghormati komunitas lain, dan mereka dapat berkomunikasi
dan bekerja sama dalam suasana saling pengertian, penuh cinta kasih. Dalam
konteks Indonesia yang multi-agama, prinsip kebebasan beragama tak hanya
mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan UU nasional, melainkan juga
berakar kuat dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang hidup ribuan
tahun di Nusantara.
·
Berikut ini terdapat beberapa
artikel yang isinya menyoroti tentang masalah hak beragama dan berkeyakinan
yang ada di Indonesia.
1.
Hak Beragama dan
Kepercayaan di Indonesia Perlu Lebih Dilindungi,”
kata Pendiri JIL
kata Pendiri JIL
Saturday,
Dec. 1, 2007 Posted: 1:38:58PM PST
Meski
dilindungi undang-undang, masih saja ada warga yang dihalang-halangi dalam
menjalankan agamanya. Maka, perlu ditegaskan perlindungan hak beragama secara
hukum.
Hal itu diungkapkan cendekiawan
Muslim, Dr Luthfie Assyaukanie, mengenai perlindungan hak beragama dan
kepercayaan warga Indonesia dalam sebuah diskusi di Jerman baru-baru ini, lapor
Deutsche Welle kemarin.
Kepada hadirin yang kebanyakan
mahasiswa ilmu politik, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) ini menjelaskan
sejumlah pertentangan dalam pelaksanaan agama Islam di Indonesia dan juga di
bidang hukum.
Menurut Luthfie, secara historis
Indonesia merupakan negara yang netral agama, bukan negara Islam dan juga bukan
negara sekuler. Ia mengatakan, negosiasi yang menetapkan hal ini berlangsung
pada awal kemerdekaan Indonesia.
Namun, ia menilai pemerintah
tidak konsekuen dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Terlihat dari
sejumlah peristiwa dimana warga justru dihalang-halangi dalam menjalankan
pilihan agamanya. Padahal menurut Luthfie, kebebasan beragama dijamin dalam
konstitusi Indonesia.
“Jelas-jelas pasal 29 (UUD 45),
menyebutkan bahwa negara melindungi agama dan juga keyakinan atau kepercayaan.
Dialog tetap penting tetapi pada level politik kita yang harus ditekankan saya
kira adalah kebebasan beragama,” katanya.
Pernyataan ini tidak lepas dari
tema dialog antar agama yang diikutinya selama di Jerman. Dalam rangkaian acara
itu, Luthie menyampaikan pentingnya menegaskan perlindungan hak beragama dalam
produk-produk hukum di Indonesia. Namun menurut dia, ada sejumlah masalah yang
merongrong aturan-aturan agama Islam, maupun undang-undang di Indonesia.
“Qur’an secara tegas menyatakan
bahwa bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Artinya, orang itu mau pilih agama apa
saja, itu mestinya tidak boleh dipermasalahkan. Nah banyak undang-undang atau
aturan dalam Islam yang bertentangan dengan konstitusi Islam, kalau kita anggap
bahwa Al Quran itu konstitusi Islam. Ini persis yang terjadi dalam konteks
kenegaraan, banyak undang-undang dan aturan, produk undang-undang itu
bertentangan dengan konstitusi kita, UUD 45,” ungkapnya.
Kondisi ini menjadi salah satu
alasan dikembangkannya kampanye Jaringan Islam Liberal yang termasuk
mempromosikan pluralisme dan dialog antar agama, kata Luthfie. Untuk yang
terakhir ini, ia melihat beberapa kendala.
“Misalnya begini, kadang-kadang
dalam dialog itu agak susah diterapkan. Kalau satu kelompok menganggap kelompok
yang lain itu sesat. Katakanlah mainstream Islam di Indonesia dengan
kelompok-kelompok yang mereka sebut kelompok sempalan, seperti Ahmadiyah atau
Al Qiyadah itu tidak mungkin akan terjadi dialog,” tanyanya.
Sampai kini, kasus-kasus mengenai
kebebasan beragama masih terus terjadi di Indonesia. Kasus-kasus “pemasungan”
ini biasanya terjadi pada kelompok-kelompok minoritas, yang berposisi lemah,
kata Luthfie.
2. Hak-Hak
Sipil Yang Terabaikan
Salah satu kesulitan akibat tak diakuinya aliran
kepercayaan dan agama-agama asli Indonesia sebagai agama adalah dalam dunia
pendidikan. Di sekolah, para siswa siswi yang datang dari keluarga penganut
ajaran kepercayaan terpaksa harus beragama lain saat berada di lingkungan
sekolah.
Salah satu contoh adalah Yeti Riana Rahmadani
seorang siswi sekolah menengah atas di Bekasi, Jawa Barat. Yeti yang menganut
Kapribaden "terpaksa" memilih agama Islam untuk mata pelajaran agama.
Sejauh ini, aku Yeti, dia tak menghadapi kendala apapun. "Saya mengikuti
pelajaran (agama Islam) di sekolah, tapi saya tetap kapribaden," kata
Yeti.
Meski mengaku tak menemukan masalah dengan
pelajaran agamanya namun terkadang kawan-kawannya tak urung mempertanyakan
kadar keagamaannya. "Kadang-kadang temen bilang, Yeti Islamnya KTP doang.
Memangnya kamu shalat di rumah," kisah Yeti menirukan pertanyaan beberapa
teman sekolahnya.
Sementara itu, Hedi Purwanto mahasiswa Universitas
Negeri Jakarta penganut aliran kepercayaan, juga mencantumkan Islam sebagai
agamanya di dalam KTP. Masalah muncul saat Hedi kerap tidak terlihat dalam
ibadah rutin umat Islam, misalnya ibadah shalat Jumat. "Teman sering
menanyakan kenapa saya tidak Jumatan. Saya terkadang menjawab saya belum dapat
hidayah," kata Hedi sambil tertawa.
Sementara itu, seorang penganut Parmalim Mulo
Sitorus mengatakan masalah tak diakuinya agama-agama asli Indonesia ini
menyebabkan anak-anak Parmalim sulit mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi.
"Sekarang (pendaftaran) dilakukan secara online lewat internet. Masalahnya
dalam formulir pendaftaran online hanya dicantumkan kolom enam agama,"
kata Mulo.
Dosa besar
Diskriminasi dalam dunia pendidikan ini hanyalah
satu dari sederet masalah yang dialami para pemeluk agama dan kepercayaan asli Indonesia
ini. Para pemeluk agama Kaharingan di Kalimantan Tengah juga menghadapi
diskriminasi. Padahal sejak tahun 1980, agama Kaharingan sudah berada di bawah
naungan Agama Hindu yang diakui negara. "Kami masih sulit bersaing meski
kami memiliki pendidikan yang sama. Kami sering kalah sebelum berkompetisi
misalnya dalam perekrutan pegawai negeri sipil, para penganut Hindu Kaharingan
selalu disisihkan,” kata Susanto Kurniawan seorang penganut Hindu Kaharingan.
Kondisi seperti ini, menurut Direktur Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT, mengakibatkan kebingungan di
kalangan penganut agama dan kepercayaan asli Indonesia. "Akibat
diskriminasi banyak dari mereka yang memilih salah satu agama misalnya Islam
atau Kristen. Secara public mereka Islam, misalnya. Namun, mereka tidak
menikmati ke-Islaman mereka. Ini adalah sebuah hipokrisi publik yang dilegalkan
negara. Dan menurut saya ini adalah dosa besar," papar Anick.
Akibat kondisi ini, dalam jangka panjang keberadaan
aliran kepercayaan dan agama asli Indonesia terancam kepunahan. "Pada
sekitar 1965 penganut kepercayaan ini menjadi sasaran pembunuhan karena
dianggap komunis akibat tidak memilih salah satu agama. Ada fakta bahwa
pengikut kepercayaan semakin berkurang. Penyebabnya, selain pembunuhan, juga
tergerus akibat konversi ke agama lain," tekan Anick.
3. Ironi Hak Beragama di Indonesia
Diterbitkan
September 20, 2010
Oleh Al Khanif
Kekerasan
bernuansa konflik antaragama seakan sudah menjadi bagian sejarah Indonesia yang
tak terpisahkan. Setelah sekian lama tidak terdengar, penyerangan terhadap
salah satu agama pecah lagi.
Yang menjadi
korban kali ini adalah jamaah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi.
Kejadian tersebut sangat disayangkan karena justru terjadi di saat umat Islam
sedang merayakan Idul Fitri.
Hak beragama
di berbagai negara memang menghadapi permasalahan yang sangat kompleks.
Pelanggaran terhadap hak fundamental tersebut juga sangat beraneka ragam, tidak
hanya terbatas pada pelanggaran yang dilakukan oleh negara melainkan juga
individu maupun kelompok masyarakat. Alasannya juga beragam seperti hukum yang
diskriminatif, konflik ideologi, sekularisme, terorisme, dan lemahnya
perlindungan bagi minoritas di suatu negara. Kini saatnya pemerintah harus
tegas melindungi hak beragama di Indonesia agar tidak semakin simpang siur.
Pada tahun
2000, 33 persen dari total populasi dunia hidup di bawah rezim yang melarang
kebebasan beragama, sedang¬kan 39 persen lainnya me¬ngalami pelanggaran
sebagian dari hak tersebut (Khanif, 2010).
Berbeda
dengan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang lebih banyak terjadi di
negara-negara di bawah rezim otoriter, hak beragama bisa terjadi di negara mana
pun, baik di negara miskin, berkembang, modern, maupun di negara demokratis dan
sekuler. Pelanggaran terhadap hak beragama juga bisa terjadi di negara-negara
yang tidak mengenal agama, seperti China.
Indonesia
Lebih Baik
Terlepas dari
serangkaian pelanggaran yang ada, perlindungan terhadap manifestasi keagamaan
di Indonesia sebenarnya lebih baik daripada di negara-negara lain. Hal ini
tercermin dari berbagai macam kegiatan keagamaan yang sa¬ngat semarak di
mana-mana dan mungkin menjadi yang paling dinamis di dunia.
Ini tercermin
dari banyaknya pendirian tempat ibadah, kegiatan keagamaan, dan pemakaian
simbol-simbol agama di berbagai tempat. Ragam jenis simbol keagamaan bahkan
telah merambah industri musik, media massa, mode, dan pariwisata.
Kegiatan
keagamaan sudah merambah kota-kota metropolitan semacam Jakarta. Agama mulai
menembus batas-batas sektarianisme, berbaur dengan modernisme yang menjamur di
berbagai sendi kehidupan masyarakat. Simbol-simbol agama tidak lagi dianggap
sebagai sesuatu yang tabu untuk ditampilkan, namun telah menjadi mode yang
digandrungi oleh semua kalangan masyarakat. Pada akhirnya, ruang-ruang publik
dan sektor swasta juga tak kuasa menahan derasnya pe¬ngaruh agama dan segala
atribut yang melekat padanya.
Perlindungan
terhadap hak beragama juga bisa dilihat dari perayaan hari raya agama. Sebagai
salah satu manifestasi hak beragama, perayaan hari raya mendapatkan prioritas
tersendiri di Indonesia. Hal ini karena pelaksanaan dari hak tersebut bisa
mengamputasi penerapan hukum yang lain. Masyarakat bisa memakai jalan raya
sebagai fasilitas publik untuk melakukan ritual keagamaan atau mengendarai
kendaraan bermotor tanpa harus memakai helm ketika memakai pakaian resmi
keagamaan.
Masyarakat
Indonesia harus menyadari bahwa kehidupan beragama mereka lebih baik daripada
masyarakat yang hidup di negara-negara maju-sekuler. Masyarakat di
negara-negara tersebut tidak bisa leluasa memanifestasikan keyakinan mereka di
sembarang tempat karena negara melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di
ruang-ruang publik dengan alasan untuk melindungi paham sekula¬risme negara
dari pengaruh agama. Mereka tentu tidak bisa menyaksikan acara-acara keagamaan
di telivisi atau mengadakan ritual keagamaan di ruang publik.
Nasib yang
lebih buruk dialami oleh para mahasiswa di Turki yang terpaksa harus mencukur
jenggot mereka karena pemerintah setempat ingin melindungi negara dari bahaya
terorisme. Setelah peris¬tiwa 9/11, terorisme menjadi isu global yang berdampak
pada larangan untuk menonjolkan simbol-simbol keagamaan yang identik dengan
terorisme. Ketakutan tersebut telah memunculkan setereotipe negatif terhadap
beberapa manifestasi keagamaan yang berdampak pada perlakuan diskriminatif
terhadap pe¬nganut agama.
Masyarakat
Indonesia juga tidak perlu cemas ketika ceramah agama. Mimbar-mimbar keagamaan
di Indonesia terbuka lebar bagi siapa pun. Bahkan tak jarang kita dengar
ceramah agama atau demonstrasi yang berisi umpatan, caci maki, dan menebar
kebencian terhadap kelompok agama lain.
Berbeda
dengan nasib Malcolm Ross, seorang guru SD di Kanada yang beragama Kristen. Dia
harus menghadapi tuntutan pengadilan karena mengajarkan kepada murid-muridnya
untuk membenci agama Yahudi yang dianggap membahayakan eksistensi agama Kristen
(Khanif, 2010).
Kekerasan
Kian Banyak
Yang menjadi
ironi di Indonesia adalah ketika hak untuk memanifestasikan keagamaan begitu
sangat semarak, namun justru ke¬kerasan terhadap hak beragama juga semakin
banyak terjadi. Padahal sebelum era Reformasi, kekerasan terhadap hak beragama
nyaris tidak pernah terdengar.
Kekerasan
yang akhir-akhir ini sering terjadi menunjukkan bahwa kelompok mayoritas ingin
mendominasi panggung kehidupan beragama di Indonesia dan melihat eksistensi
minoritas sebagai ancaman yang harus dihilangkan.
Pemerintah
juga salah kaprah dalam melindungi hak tersebut. Di satu sisi, pemerintah
menganakemaskan manifestasi keagamaan, bahkan sampai harus permisif terhadap
pelanggaran terhadap peraturan hukum lainnya. Namun sebaliknya, justru tidak
bisa melindungi hak untuk meyakini sebuah agama sebagai hak yang tidak boleh
dikurangi atau dibatalkan dalam situasi apapun.
Sayangnya, Mahkamah
Konstitusi (MK) juga belum berani melakukan terobosan hukum karena menolak
peninjauan kembali UU No 1/PNPS/1965 yang telah banyak mengakibatkan terjadinya
kekerasan terhadap agama. Nyali MK masih belum sepadan dengan Mahkamah Agung
Zimbabwe yang memutuskan kalung tradisional yang dipakai oleh sebagian besar
masyarakat tradisional negara itu untuk mengusir rasa takut adalah termasuk
manifestasi dari agama Rastafarian dan harus dilindungi (Khanif, 2010).
Kesimpulannya,
selama masih ada manusia yang meyakini suatu agama, tidak ada satu negara pun
di dunia ini yang mempunyai catatan tanpa noda mengenai hak beragama. Namun,
bukan berarti bisa dijadikan pembenar bagi kita semua untuk melakukan
pelanggaran, melainkan harus dijadikan catatan untuk bisa meminimalisasi
pelanggaran yang ada karena semua manusia mempunyai hak yang sama untuk
menentukan keyakinan mereka sendiri-sendiri. (Sumber: Sinar Harapan, 15
September 2010)
Beberapa media masih sangat suka mengaitkan isu
pendiskreditan agama atas satu fenomena tertentu. Untuk menarik perhatian
mereka biasanya sangat suka untuk memblow isu miring tentang agama demi
menaikkan rating. Media ini sebenarnya masih tergolong media kelas kacangan
yang kurang kreatif dalam mengemas satu topik acara.
Demikian juga media-media sosial yang bertebaran di
Indonesia. Begitu ada isu sektarian apalagi yang menjurus agama besar, maka
seolah akan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk membahasnya hanya demi
kepuasan tertentu kelompok yang kebetulan oposan dengan agama bersangkutan. Ini
menunjukkan pengelola media bersangkutan masih bisa digolongkan sebagai
pengelola kelas kecoa, yang hanya mampu meningkatkan rating trafik dengan cara
menistakan, menghujat atau menghakimi kelompok agama lainnya.
Fenomena ini biasanya sangat marak pada media-media
negara berkembang dan sebenarnya kurang begitu diminati di negara-negara maju.
Ada kecenderungan bahwa benturan sektarianisme ini kelas ecek-ecek ini
sebenarnya memang hanya disukai dikelas-kelas masyarakat yang kurang cerdas,
kurang kerjaan dan lucunya seringkali berperilaku sok cerdas.
Biasanya isu agama atau sektarianisme yang dimunculkan
oleh golongan tertentu sangat terbaca akibat mereka sudah kehabisan topik
cerdas untuk meningkatkan rating popularitas dari kelompok atau individu
bersangkutan. Mereka akan menunggangi isu sektarian ini dan memolesnya
sedemikian rupa untuk menangguk popularitas dan trafik atas segala kontroversi
yang dikelolanya.
Sebenarnya, kalau kita mau mencermati dengan jernih,
justru merekalah sebenarnya yang sangat suka memecah-belah kerukunan umat
beragama. Bahkan mereka yang seolah-olah memperjuangkan hak kesetaraan
beragama-pun sangat sering menggunakan isu miring ini demi kepentingan
kelompoknya. Dalam hal ini, yang dimaksud kesetaraan bagi mereka adalah dengan
mereduksi hak kelompok lain atas nama kebebasan beragama.
Kita harus berhati-hati. Radikalisme bukan hanya
menjadi cap dari golongan fundamentalis kelompok agama tertentu. Banyak sekali
perilaku radikal yang sebenarnya juga ada di semua agama, bahkan yang terakhir,
ada tanda-tanda gerakan radikal dari kelompok yang katanya tidak menganut agama
tertentu.
Kelompok yang terakhir ini biasanya melakukan gerakan
infiltrasi dengan membelokkan isu agar antar kelompok agama saling berbenturan.
Mereka biasanya seolah-olah membela kelompok agama minoritas tertentu, padahal
sejatinya mereka justru menunggangi kelompok minoritas tersebut demi memuluskan
agenda terselubung mereka sendiri.
Nah, bagaimana dengan media-media di Indonesia?
Televisi, media sosial semacam Kaskus, Kompasiana, Detik Forum, Vivanews Forum,
dan lain-lainnya. Benarkah mereka bersih dari perilaku-perilaku model begini?
Kalau mereka masih dipenuhi oleh perilaku-perilaku model begini, mereka
termasuk dalam kategori media kelas kacangan dan yang terlibat didalamnya baik
user, pemirsa, bahkan yang berinteraksi adalah para individu atau kelompok yang
sebenarnya secara sadar (tergantung level kesadarannya) menjadi bagian dari
pemecah kerukunan beragama.
5. Mahasiswa Madura: Aparat "Gagal" Lindungi Pesantren Syi'ah
JAKARTA-
Pembakaran Pesantren Syi’ah di Omben, Sampang, Madura semestinya dilihat secara
komprehensif oleh semua kalangan agar tidak menimbulkan masalah lanjutan.
Karena sejauh ini, Madura, kepulauan yang terkenal dengan karapan sapinya itu
tergolong sebagai daerah yang toleran dalam masalah agama.
"Saya
tidak percaya bahwa motif pembakaran penyebabnya konflik sekte, antara Sunni
dan Syiah. Memang agama atau sekte masih menjadi sesuatu yang sensitif.
Tapi di Madura itu tidak pernah ada,” kata ketua Forum Mahasiswa Madura
(Formad) Jakarta, Laili Munasir, pada Sabtu, (31/12/2011).
Mahasiswa
Madura juga mengatakan mengutuk keras kekerasan yang terjadi di pesantren Syiah
tersebut. Menurut Laili dalam sebuah kajian yang dilakukan Formad, keberagamaan
masyarakat Madura selama ini dikendalikan oleh komunitas santri yang tersebar
di berbagai desa maupun kota.
“Para santri
ini, rata-rata penganut Ahlussunnah Waljamaah yang sejak dini ditanamkan
sikap-sikap toleran dan tidak ada santri yang melakukan kekerasan di Madura.
Justru, selama ini mereka adalah tiang-tiang perdamaian,” ungkapnya.
Lebih jauh,
Laili meyakini, aksi kekerasan terhadap kelompok Syiah ini, bukan konflik
Sunni-Syiah, melainkan konflik pribadi dan kepentingan. "Kebetulan saja aktor-aktor
di dalamnya berbeda aliran dalam beragama. Sehingga mudah saja bagi satu
pihak menggunakan sentimen agama untuk menarik dukungan dan menyebar fitnah
untuk membenci pihak lainnya,” imbuhnya.
Di kesempatan
lain, mantan aktivis forum mahasiswa madura, Mohamad Nabil, menilai bahwa
dengan terjadinya tragedi pembakaran pesantren ini, itu menunjukkan bahwa
pemerintahan SBY gagal dalam melindungi minoritas. Dalam perbincangan dengan
wartawan Rimanews beberapa waktu lalu, peneliti yang sehari-hari bergiat di
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini melanjutkan, sejatinya hal-hal sepele
seperti itu bisa diatasi dengan baik oleh pemerintahan SBY jika ia mau serius
mengurus negeri ini.
“Rezim SBY
gagal dalam melindungi minoritas. Seyogyanya ia bisa memerintahkan aparat
keamanan, dalam hal ini polisi, untuk melindungi Pesantren Syi’ah yang dalam
beberapa tahun terakhir ini mengalami masalah.”
Ia sangat
menyesali kelalaian aparat keamanan dalam melindungi pesantren tersebut.
Menurutnya, rezim SBY, terutama kepolisian, hanya melindungi orang-orang
berduit saja, sedangkan kaum lemah dan tak mampu yang sejatinya mendapat
perlindungan dari negara malah ditelantarkan.
“Rezim SBY
hanya melindungi orang-orang yang kuat dan punya modal/uang, sementara warganya
yang lemah dan tak mampu dibiarkan saja dimakan oleh saudara-saudaranya
sendiri, seperti di Sampang, Bima, dan Mesuji. Benar-benar telah dibutakan
nurani rezim ini,” begitu ia menutup diskusinya dengan Rimanews.
·
Berdasarkan masalah-masalah
pelik di atas, berikut beberapa hal yang perlu untuk semua elemen lakukan guna
memperbaiki kondisi mengenai masalah yang menyangkut hak beragama dan
berkeyakinan yang ada di Indonesia.
1. Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Boediono, agar segera mengambil sikap dan tindakan tegas dalam
melaksanakan jaminan konstitusional atas hak-hak kebebasan berkeyakinan
tiap-tiap warga negara di negeri ini, tanpa kecuali. Konstitusi telah
mengamanatkan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (pasal 28i, ayat 4,
UUD 1945). Sebagai kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat,
Presiden dan Wakil Presiden merupakan pengemban amanat hati nurani rakyat
secara keseluruhan dan sekali-kali bukanlah milik suatu golongan. Di pundak
Presiden dan Wakil Presiden-lah terletak tanggung jawab untuk melaksanakan
amanat konstitusi tersebut secara konsekuen demi menjaga keadaban publik.
2. Kepada Jajaran Kepolisian, untuk tetap setia
menjaga keamanan tiap-tiap anak bangsa dari ancaman tindak-tindak brutal
kelompok-kelompok yang menebar rasa takut dan iklim permusuhan dengan dalih
apapun. Selain itu, kepada aparat keamanan untuk tetap teguh berpegang pada
Konstitusi, Pancasila, dan UUD 1945 yang menjadi titik temu bersama segenap
anak bangsa dalam kerangka NKRI yang bhinneka.
3. Kepada Pemerintah, baik yang di pusat maupun di
daerah, agar tetap menjadi pengayom seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi,
baik dari sudut agama, suku, bahasa, maupun aliran. Selain itu, pemerintah di
pusat maupun di daerah untuk tidak sekali-kali bertekuk-lutut pada desakan
kelompok-kelompok yang tak mengindahkan sendi-sendi bersama kehidupan
berbangsa, terutama dengan mengeluarkan keputusan-keputusan yang menyalahi
koridor hukum yang tambah memberatkan beban mental kelompok-kelompok yang
dikorbankan.
4. Kepada Mahkamah Konstitusi (MK), untuk segera
meninjau kembali seluruh produk perundang-undangan yang bersifat diskriminatif
dan bertentangan dengan amanat konstitusi, khususnya dalam aspek kebebasan
beragama dan berkeyakinan.
5. Kepada Lembaga Peradilan/Penegak Hukum, untuk
senantiasa menjamin kesetaraan tiap-tiap anak bangsa di hadapan hukum, tanpa
membedakan latar belakang agama, etnis, status sosial ekonomi, dan lain-lain.
6. Kepada Segenap Partai Politik, agar lebih lantang
menyuarakan pembelaan terhadap korban-korban kekerasan yang menimpa pihak
manapun. Kami juga menuntut agar partai-partai politik memainkan peran terdepan
dalam menentang segala gejala yang mengarah pada melemahnya sikap berbangsa dan
bernegara dan berpotensi mencabik-cabik asas-asas mendasar kita dalam berbangsa
dan bernegara.
7. Kepada Segenap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
untuk tidak mengabaikan pembelaan atas korban-korban tindak kekerasan dan
penindasan atas dasar apapun. Selain itu kepada segenap anggota dewan untuk
tidak memandang soal kekerasan berbentuk apapun dengan logika kuantitatif
konstituen, melainkan meletakkannya sebagai soal mendasar segenap anak bangsa
yang juga sedang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa yang hendak menuju
demokrasi dan hidup yang bermartabat.
8. Kepada Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
agar lebih peka terhadap aspirasi masyarakat, terutama dalam aspek kebebasan beragama
dan berkeyakinan, serta terlibat aktif dalam mengantisipasi wujudnya
tindak-tindak kekerasan atas dasar keyakinan.
9. Kepada Tokoh-Tokoh Agama, untuk tidak mengabaikan
semangat kebangsaan dalam menentang setiap aksi kekerasan atas nama agama. Selain
itu perlu untuk tidak memberi pembenaran apapun, terutama dari sisi doktrin dan
teologi agama, terhadap setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Selain itu kepada para tokoh
agama untuk berada pada jalur moderasi dan mengambil peran terdepan dalam
menumbuhkan semangat toleransi dan perdamaian dalam menghadapi perbedaan apapun
dalam aspek keagamaan.
10. Kepada Ormas-Ormas Keagamaan, agar lebih giat
lagi dalam mewujudkan agama sebagai faktor harmoni, bukan disharmoni, pendorong
kedamaian, bukan pemantik permusuhan. Bagi ormas-ormas yang sudah terbiasa
menjalankan proyek-proyek kebencian dan kekerasan, untuk segera berhenti karena
hanya akan mencoreng dan memperburuk citra agama yang mereka klaim untuk
diperjuangkan.
11. Kepada Segenap Masyarakat, agar tetap
mengedepankan semangat toleransi dan kearifan dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan dengan orang atau kelompok tertentu, sampaipun dalam soal
keyakinan agama. Selain itu, kepada masyarakat untuk tidak gampang terhasut
oleh pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu untuk membenarkan ataupun
turut serta dalam tindak-tindak kekerasan yang menebar rasa tidak aman dan
permusuhan antar sesama anak bangsa.
12. Kepada Media Massa, untuk lebih gigih
mengedepankan dan memperjuangkan paradigma jurnalisme perdamaian dalam pelbagai
liputan. Untuk media-media yang sudah terbiasa menganut paradigma kebencian dan
permusuhan, untuk mengubah paradigmanya serta berhenti menyalakan bara permusuhan
antar kelompok dan aliran.
13. Kepada Kalangan Mahasiswa dan Kampus, agar tidak
sekali-kali tergiur untuk ambil bagian dalam kelompok yang aktif dalam menebar
rasa kebencian antar kelompok ataupun aliran. Selain itu, kepada segenap
civitas akademika agar menjadi bagian penting dalam mengedepankan penggunaan
akal sehat dalam menentang pelbagai provokasi dan ajakan kekerasan atas dasar
apapun.
14. Kepada Organisasi-Organisasi Civil Society,
untuk tetap setia memperjuangkan semangat perdamaian dan segera merapatkan
barisan dengan kelompok-kelompok yang memperjuangkan budaya perdamaian dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, untuk terlibat lebih aktif dalam
menyuarakan penentangan atas segala bentuk kekerasan dan gejala-gejala yang
mengebiri hak-hak kebebasan dasar tiap warganegera dalam mengekspresikan agama
dan keyakinan masing-masing.
15. Kepada Kalangan Profesional, untuk lebih
proaktif dalam memasyarakatkan nilai-nilai keragaman agama, sosial dan budaya,
demi mewujudkan perdamaian setiap anak bangsa dalam kerangka NKRI yang bhinneka
tunggal ika.
0 komentar:
Posting Komentar