Makalah Mata Kuliah Pengantar
Ilmu Pendidikan (A)
KELOMPOK
1
IKRIMATUL
HUSNA (110210301004)
SITI
NUR JANNAH (110210301010)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, selalu penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis sehingga makalah yang dikerjakan dengan judul “Hakekat Manusia dan Pendidikan Sepanjang Hayat” dapat
terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pembuatan makalah
sebagai bahan untuk presentasi.
Penulis sadar, makalah ini sangat
jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis berlapang dada untuk menerima
kritik dan saran yang dapat membangun demi sempurnanya makalah ini.
Jember, Juli 2013
Penulis
|
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................. 1
1.3 Tujuan
Penulisan............................................................................................... 2
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Wujud Sifat Hakekat Manusia.......................................................................... 3
2.2
Aspek-Aspek Hakekat Manusia........................................................................ 6
2.3
Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan............................................. 10
2.4
Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat dan Implikasinya................................... 14
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan........................................................................................................ 18
3.2
Saran.................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... iii
LAMPIRAN SLIDE
PRESENTASI
OUTLINE
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia
tentulah berbeda dengan hewan. Manusia adalah mahluk bertanya, ia mempunyai
hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka terdapat
makna pendidikan, yaitu pendidikan adalah humanisasi, di mana merupakan upaya
memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri
sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Oleh karena pendidikan berarti upaya
membantu manusia untuk menjadi apa, mereka dapat dan seharusnya menjadi maka
pendidik dan calon pendidik perlu memahami hakikat manusia.
Pendidikan
bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia
dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju,
sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Mengacu
pada hal di atas, dalam GBHN dinyatakan bahwa “Pendidikan berlansung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan
rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung
jawab bersama antar keluarga, masyarakat, dan pemerintah”.
Hal
ini berarti bahwa setiap manusia diharapkan supaya selalu berkembang sepanjang
hidup, dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat
menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti, masa
sekolah bukanlah satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan
hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlansung seumur hidup.
Konsep
pendidikan seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu
proses yang terus-menerus (continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Oleh
karena hal di atas lah, maka penulis sengaja membuat makalah yang bertema
hakekat manusia dan pendidikan dengan judul “Hakekat Manusia dan Pendidikan Sepanjang Hayat”.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
wujud sifat hakekat manusia?
2. Bagaimana
aspek-aspek hakekat manusia?
3. Bagaimana
hubungan hakekat manusia dengan pendidikan?
4. Bagaimana
konsep pendidikan sepanjang hayat dan implikasinya?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui wujud sifat hakekat manusia.
2. Untuk
mengetahui aspek-aspek hakekat manusia.
3. Untuk
mengetahui hubungan hakekat manusia dengan pendidikan.
4. Untuk
mengetahui konsep pendidikan sepanjang hayat dan implikasinya.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Wujud
Sifat Hakekat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai
ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual)
membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak
kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Adapun wujud sifat
hakikat manusia adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan
Menyadari Diri
Kaum
Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari
diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya)
memiliki ciri khas atau karakteristik diri.
Yang
lebih istimewa ialah bahwa manusia dikarunia kemampuan untuk membuat jarak
(distansi) diri akunya sendiri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan
berperan sebagai subjek kemudian memandang dirinya sebagai objek. Untuk melihat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat
pada dirinya. Inilah manifestasi dari puncak karakteristik manusia yang
menjadikannya lebih unggul dari hewan. Oleh karena itu pendidikan memiliki
keharusan untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik. Dengan kata lain
pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 4-5).
b. Kemampuan
Bereksistensi
Dengan
keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan objek, lalu
melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau
menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan
menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Kemampuan
bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar
belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan
peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan
daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 5-6).
c. Kata
Hati (Conscience of Man)
Kata
Hati atau conscience of man juga
sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati,
dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian
yang mengikuti perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang
apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga
akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 6).
d. Moral
Jika
kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan
itu sendiri. Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang
benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau
moral yang tinggi (luhur) (Pengantar
Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 7).
e. Tanggung
Jawab
Kesediaan
untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan
pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Tanggung jawab dapat
diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan
sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh
norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Hal ini
mengimplikasikan bahwa pendidikan moral sangat penting bagi peserta didik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 8).
f. Rasa
Kebebasan
Merdeka
adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada
ikatan.
Kemerdekaan
dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya bebas
berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 9).
g. Kewajiban
dan Hak
Kewajiban
dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia
sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak
ada hak tanpa kewajiban. Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain
yang harus dipenuhi haknya. Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan
tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha
menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat
ditempuh melalui pendidikan disiplin. Disiplin diri menurut Selo Soemardjan
meliputi empat aspek :
a) Disiplin
rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah
b) Disiplin
sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa malu.
c) Disiplin
afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah
d) Disiplin
agama, jika terjadi pelanggaran mencimbulkan rasa berdoa
Keempat macam disiplin tersebut perlu
ditanamkan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagai titik tumpu (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 9-12).
h. Kemampuan
Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan
adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan menusia. Kebahagiaan tidak cukup
digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
saja, tetapi lebih dari itu, merupakan integrasi dari segenap kesenangan,
kegembiraan, kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan
penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu menghasilkan suatu bentuk
penghayatan hidup yang disebut “bahagia” (Pengantar
Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 12-13).
Manusia
adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungannya, dirinya
sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan sinalemen Heinemann bahwa pada abad
20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang dilanda krisis
bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis
energi, dan sebagainya, melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri
(Beerling, 1951: 43).
Dalam hubungan ini,
pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk menghantar peserta
didik mencapai kebahagiaan, yaitu dengan jalan membantu mereka meningkatkan
kualitas hubungannya dengan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 15).
2.2
Aspek-Aspek
Hakekat Manusia
a. Manusia sebagai
Makhluk Tuhan
Terdapat
dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu (1)
Evolusionisme dan (2) kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan karena diciptakan
oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan
ada dengan sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai
hasil evolusi. Sebaliknya, kreasionisme
menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu creative cause atau personality yang
kita sebut sebagai Tuhan YME (J. Donal Butler, 1968). Bertolak dari pandangan
tersebut, secara umum ada dua pandangan yang berbeda pula tentang asal-usul
manusia. Menurut evolusionisme beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai
hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost
Jr., 1957) dan Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya kreasionisme menyatakan
bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsul
yang berpandangan demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E.Frost Jr., 1957)
dan Al-Ghozali (Ali Issa Othman, 1987).
Oleh karena manusia berkedudukan sebagai
makhluk Tuhan YME maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita
alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan
(M.I. Soelaeman, 1998). Fenomena kemakhlukan ini, antara lain berupa
pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya.
Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih
sayang Tuhannya, namun ia pun tahu begitu pedih siksanya. Semua itu melahirkan
rasa cemas dan takut pada diri
manusia terhadap Tuhannya. Tetapi dibalik itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa hormat, dan rasa segan
karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu mengunggah kesediaan manusia
untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu menyadari
akan maha kasih sayangnya sang pencipta
maka kepada-Nya lah manusia berharap dan berdoa. Adapun hal tersebut dapat
menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sifat positif dan familiaritas akan masa depannya,
menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.6-1.7).
b. Manusia
sebagai Kesatuan Badan Roh
Terdapat
empat paham berkenaan dengan struktur metafisik manusia, empat paham tersebut
sebagai berikut:
Materialisme
gagasan para penganut materialisme, seperti Julien De La Mattie dan Ludwig
Fauerbach bertolak dari realita sebagai mana dapat diketahui melalui pengalaman
diri atau observasi. Karena itu, alam semesta atau reliatas ini tiada lain
adalah serba materi, serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam
semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial
dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah apa yang
nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, urat syaraf). Segala
hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya
sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan
hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai epiphenomenalisme (J.D. Butler,
1968).
Idealisme
bertolak belakang pandangan di atas, menurut penganut edialisme bahwa esensi
dari manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Hal ini sebagai mana
dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun
menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam
hubungan dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang
mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa
adalah asas primer yang menggerakan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa
tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai spiritualisme (J.D. Butler, 1968).
Dualisme
C.A.Van Peursen (1982) mengemukakan pihak lain secara tegas bersifat dualistik yakni pandangan dari Rene
Descartes. Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu
badan dan jiwa oleh karena itu manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan
dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E.
Frost Jr., 1957) namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan
peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya jika jiwa sedih maka secara Paralel badan pun tampak murung atau
menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai
paralelisme (J.D. Butler, 1968).
Kesatuan
Badani-Rohani berbeda dengan ketiga paham diatas
(Materialisme, Idealisme, dan Dualisme), E.F. Schumacher (1980) memandang
manusia sebagai kesatuan dari hal yang bersifat badani dan rohani yang pada
hakikatnya berbeda dari benda material, tumbuhan, hewan maupun Tuhan. Sejalan
dengan pandangan Schumacher, Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan
bahwa: ’’meski manusia merupakan
pendahuluan dua unsur yang berbeda, roh dan badan, namun ia merupakan pribadi
yang integral“. Berdasarkan penegasan ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah
kesatuan badani-rohani. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek
individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan.
Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas
dan dinamika (Pengantar Pendidikan, Dinn
Wahyudin, 2008: 1.8-1.9).
c. Manusia
sebagai Makhluk Individu
Sebagaimana anda alami bahwa manusia menyadari
keberadaan dirinya sendiri. Manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan
individualitas manusia. Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak
dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia yang lainnya sehingga bersifat
unik, dan merupakan subjek yang otonom.
Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek
badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh.
Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan
sehingga bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan
berpikirnya, minat dan bakatnya. Dunianya, cita-citanya. Pernakah anda menemukan
anak kembar siam? Manusia kembar siam sekali pun tak pernah memiliki kesamaan dalam
keseluruhannya (Pengantar Pendidikan,
Dinn Wahyudin, 2008: 1.9).
d. Manusia
sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia
tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya
untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam
hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati
kedudukan (status) tertentu. Di samping itu setiap individu mempunyai dunia dan
tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan
hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula
kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanya lah manusia akan
dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut
manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987) (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.10).
e. Manusia
sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia memiliki inisiatif dan kretif dalam
menciptkan kebudayaan hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu
yang ada di luar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu
sendiri. Kebudayan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya, kebudayaan
menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia. Manusia
tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena
dan bersama kebudayaanya (C.A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini Ernst
Cassier menegaskan bahwa “Manusia tidak
menjadi manusia kerena sebuah faktor didalam dirinya, seperti misalnya naluri
atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaanya, kebudayaanya.
Demikianlah kebudayaan termasuk hakekat manusia” (C.A.Van Pursen, 1988) (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.11).
f. Manusia
sebagai Makhluk Susila
Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa
manusia sadar akan diri dan lingkunganya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk
berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk
berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan.
Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilan karena pada manusia
terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki
kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu alterntif tindakan yang harus
dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat ini juga harus dipilihnya. Karena manusia
mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatanya secara otonom maka
selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya
(Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin,
2008: 1.12).
g. Manusia
sebagai Makhluk Beragama
Aspek
keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia
yang terungkap dalam bentuk pengakuan
atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan
perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu
(dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang geografis dimana manusia berada.
Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas
suatu agama.
Manusia hidup beragama karena agama
menyangkut masalah-masalah yang bersifat mulak maka pelaksanaan keberagamaan
akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu.
Hal ini baik berkenaan dengan sistem
keyakinanya, sistem peribadatan maupun berkenaan dengan pelaksanaan tata kaidah
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia
serta hubungan manusia dengan alam. Dalam keberagamaan ini manusia akan
merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya,
tata cara hidup dan berbagai aspek kehidupanya, dan menjadi jelas pula apa yang
menjadi tujuan hidupnya (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.13).
2.3 Hubungan Hakekat
Manusia dengan Pendidikan
1.
Asas-Asas
Keharusan atau Perlunya Pendidikan bagi Manusia
a. Manusia
sebagai Makhluk yang Belum Selesai
Manusia
tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula
sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut
Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Manusia berbeda dengan benda.
Perbedaan itu antara lain dalam hal cara beradanya. Menurut Martin Hedegger,
benda-benda di sebut sebagai “yang berada” (Seinde), dan bahwa benda-benda itu
hanya “vorhanden”, artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada
hubungannya dengan orang itu, benda-benda itu baru berarti. Sedangkan manusia,
ia berinteraksi di dunia di mana ia secara aktif “mengadakan” diriya, tetapi
bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagai mana Tuhan menciptakan manusia,
melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya, ia harus
bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya.
Sebagai
kesatuan badan-rohani manusia memiliki historisaitas dan hidup bertujuan.
Karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada
karena diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga
memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), dan sekaligus
menjangkau masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam
perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia,
tertapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan diri sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.18-1.19).
b. Tugas
dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia
Manusia
hidup di dunia ini dalam keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi
siapa nantinya. Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia
bebas menentukan pilihan mau menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya.
Andaikan seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia
atau tidak mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia, maka berarti yang
bersangkutan menurunkan martabat kemanusiannya.
Sebagai
pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi
bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi
pilihannya dan dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung
jawab serta akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tiada makna lain
bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk
menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers
menyatakannya dalam kalimat “to be a man
is to become a man”, ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad
Hasan, 1973). Implikasinya jika seorang tidak selalu berupaya untuk menjadi
manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.19-1.20).
c. Perkembangan
Manusia Bersifat Terbuka
Dalam
kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung
berbagai kemungkinan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat
kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia
berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat
dan martabat kemanusiaanya. Menurut Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan
kesimpulan yang sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa “Pada saat kelahirannya taraf perkembangan
manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang
paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak
mengenal spesialisai seperi hewan. Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan”
(C.A. Van Peursen, 1982). Nietzsche juga mendukung kesimpulan ini yang menyebut
manusia sebagai das nicht festgestellte
Tier, artinya sebagai hewan yang belum ditetapkan. Ada beberapa akibat
manusia dilahirkan terlalu dini :
a. Kelanjutan
hidup manusia menunjukkan keragaman, baik ragam dalam hal kesehatannya, dalam
dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannnya, kesusilaanya,
keberagamaanya.
b. Oleh
karena itu spesialisasi manusia itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam
perkembangan menuju kedewasaanya.
Pada
dasarnya kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berperilaku
lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia
sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya,
kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia
sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalu
bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat
dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Dari
hal inilah dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia
dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya
menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau
harus dididik. “Man can become man
through education only”, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi
M. J. Langeveld. Bahkan sehubungan dengan kodrat manusia seperti dikemukakan di
atas, Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal
Educandum (M.J. Langeveld, 1980) (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.20-1.22).
2.
Asas-Asas
Kemungkinan Pendidikan
Atas
dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld (1980) menyatakan
bahwa “manusia itu sebagai animal educandum, dan ia memang adalah animal
educabile”. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia
dalam berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan
bahwa manusia mungkin dididik yaitu:
a. Asas
Potensialitas
Berbagai
potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia akan mampu menjadi manusia,
tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya dalam
aspek kesusilaan, manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan
norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu
tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas.
Oleh karena itu manusia akan dapat dididik karena ia memiliki berbagai potensi
untuk dapat menjadi manusia (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.23).
b. Asas
Dinamika
Jika
ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu
manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu
sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh
karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik
(Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin,
2008: 1.23-1.24).
c. Asas
Individualitas
Individu
antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang
lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya
sendiri. Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka
mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk
manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas
manusia (peserta didik). Di pihak lain manusia sesuai dengan individualitasnya
berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu individualitas manusia
mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.24).
d. Asas
sosialitas
Sebagai
insan sosial, manusia hidup bersama dengan sesamanya, maka ia butuh beraul
dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi
hubungan pengaruh timbal balik setiap individu akan menerima pegaruh dari
individu yang lainnya. Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk
dapat dididik, oleh karena itu upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu
disampaikan justru melalui interaksi atau komunikasi antar sesama manusia dan
bahwa manusia dapat menerima bantuan atau pengaruh pendidikan juga melalui
interaksi atau komunikasi dengan sesamanya (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.24).
e. Asas
Moralitas
Manusia
memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan pada dasarnya
ia berpotensi untuk beperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya
(aspek moralitas).
Pendidikan
pada hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem
nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu
manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang
bersumber dari agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif
dan manusia memiliki dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan
manusia untuk dapat dididik (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.24-1.25).
Atas
dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika
berbagai asumsi tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa
manusia tidak perlu dididik, tidak akan dapat dididik karena itu kita tak perlu
melaksanakan pendidikan.
2.4
Konsep
Pendidikan Sepanjang Hayat dan Implikasinya
Dalam GBHN dinyatakan bahwa “Pendidikan berlansung seumur hidup dan
dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena
itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama antar keluarga, masyarakat, dan
pemerintah”.
Hal ini berarti bahwa setiap manusia
diharapkan supaya selalu berkembang sepanjang hidup, dan di lain pihak
masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan situasi yang
menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti, masa sekolah bukanlah
satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian
dari waktu belajar yang akan berlansung seumur hidup.
Konsep pendidikan sepanjang hayat
atau seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses
yang terus-menerus (continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep ini
sesuai dengan konsep islam seperti yang tercantum dalam hadist Nabi Muhammad
SAW., yang menganjurkan belajar mulai dari buaian sampai ke liang kubur.
Sebenarnya ide pendidikan seumur hidup telah lama dalam sejarah pendidikan,
tetapi baru popular sejak terbitnya buku Paul Langrend An Introduction to Life
Long Education (Sesudah Perang Dunia II). Kemudian diambil alih oleh
International Commision on the Development of Education (UNESCO) (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad
Ihsan, 1995: 40-41).
Dalam kenyataan hidup sehari-hari
dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada hakikatnya orang belajar sepanjang
hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama.
Pendeknya tidak ada batas usia yang menunjukkan tidak mungkinnya dan tidak
dapatnya orang belajar. Dorongan belajar sepanjang hayat itu terjadi karena
dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh untuk mempertahankan
hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan
tantangan alam sekitar yang selalu berubah. Sepanjang hidupnya manusia memang
tidak pernah berada di dalam suatu vakum. Mereka dituntut untuk mampu
menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif, dan inovatif terhadap diri
dan kemajuan zaman.
Kegiatan mendidik diri setiap saat
sepanjang hidup selalu merupakan kebutuhan terlepas dari hasilnya. Juga bukan
semata-mata sebagai bekal untuk kehidupan di masa datang. Dengan kata lain
pendidikan itu merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri. Prinsip
pendidikan seperti itu mengandung makna bahwa pendidikan itu lekat dengan diri
manusia, karena dengan itu manusia dapat terus-menerus meningkatkan
kemandiriannya sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat, meningkatkan self fulfillment (rasa kepenuhmaknaan)
dan terarah kepada aktualisasi diri. Dalam hubungan dengan lingkungan mereka
dapat menyesuaikan diri secara adaptatif dan kreatif terhadap tantangan zaman.
PSH yang dalam prakteknya telah
lama berlangsung secara alamiah dalam kehidupan manusia itu dalam perjalanannya
menjadi pudar disebabkan oleh semakin kukuhnya kedudukan sistem pendidikan persekolahan
di tengah-tengah masyarakat. Sistem pendidikan persekolahan yang polanya
mentradisi membentuk masyarakat tersendiri dan memisahkan diri dari lingkungan
masyarakat luas dengan pagar pekarangan sekolah, memdindingi kelas, membatasi
waktu belajarnya sampai usia tertentu dan jangka waktu tertentu. Seolah-olah
sekolah membentuk masyarakat khusus yang mempersiapkan diri untuk kehidupan di
hari depan, bukan kehidupan sekarang ini, dengan membekali diri berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan menurut porsi yang telah ditetapkan dengan
keyakinan bahwa bekal tersebut pasti cocok dengan tuntutan zaman. Kenyataan
menunjukkan bahwa masyarakat selalu berubah dengan membawa tuntutan baru. Bekal
yang telah dipersiapkan secara baku pada saat seseorang ditempa di sekolah
tidak selalu sesuai dengan kebutuhan di lapangan yang nantinya akan diterjuni. PSH
bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan,
PSH merupakan suatu proses bersinambungan yang berlangsung sepanjang hidup.
Selanjutnya PSH didefinisikan
sebagai tujuan atau ide formal untuk
pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasiannya
dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia dari usia yang
paling muda sampai paling tua. (Cropley: 67).
Khususnya di Indonesia respon
terhadap konsep PSH sangat positif dan dituangkan dalam kebijaksanaan negara
yaitu dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR1973 jo. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978
tentang GBHN yang menetapkan prinsip pembangunan nasional antara lain: Dalam
Bab IV bagian pendidikan, butir (d) berbunyi: “Pendidikan berlansung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan
rumah tangga/keluarga dan masyarakat, karena itu pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah”.
Kebijaksanaan pembangunan nasional
di bidang pendidikan mengandung arti bahwa secara konstitusional GBHN tersebut
wajib dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Fungsi dari masing-masing lembaga tersebut bersifat komplementer
(saling mengisi). Artinya hanya pendidikan keluarga, hanya pendidikan
nonformal, atau hanya pendidikan informal saja masing-masing tidak cukup,
karena itu satu sama lain harus saling mengisi (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 42-44).
Implikasi Konsep
Pendidikan Sepanjang Hayat
Implikasi pendidikan sepanjang hayat pada program
pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Ananda W.P. Guruge, dalam garis
besarnya dapat dikelompokkan dalam enam kategori, sebagai berikut:
a.
Pendidikan
Baca Tulis Fungsional
Program
ini tidak saja penting bagi pendidikan sepanjang hayat atau seumur hidup karena
relevansinya dengan kondisi yang ada pada negara-negara berkembang karena masih
banyaknya penduduk yang buta huruf, melainkan juga sangat penting ditinjau dari
implementasinya.
Jadi
melek huruf fungsional itu di samping merupakan isi program sekaligus juga
merupakan sarana terlaksananya pendidikan seumur hidup. Namun kemampuan membaca
menulis apabila tidak ditunjang oleh tersedianya bahan-bahan bacaan tidak ada
artinya. Sebab itu realisasi baca tulis fungsional itu harus memuat dua hal,
yaitu:
1. Memberikan
kecakapan membaca – menulis – menghitung (3M) yang fungsional bagi anak didik;
dan
2. Menyediakan
bahan-bahan bacaan yang diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut kecakapan
yang telah dimilikinya itu (Dasar-Dasar
Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 48-49).
b.
Pendidikan
Vokasional
Apakah
pendidikan vokasional itu sebagai program pendidikan di luar sekolah bagi anak
didik di luar batas usia sekolah, ataukah sebagai program pendidikan formal dan
non formal dalam rangka apprentice-skip
training, merupakan salah satu program penting dalam rangka pendidikan
seumur hidup. Pada kebanyakan negara berkembang yang sistem pendidikan formal
umumnya diambil dari negara Barat, out
put pendidikan sekolah pada umumnya dirasakan kurang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Sebab itu program pendidikan yang
bersifat remedial agar para lulusan sekolah itu menjadi tenaga kerja yang
produktif dan menjadi sangat penting (Dasar-Dasar
Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 49-50).
c.
Pendidikan
Profesional
Dalam
tiap-tiap profesi hendaknya telah tercipta built-in
mechanism yang memungkinkan golongan profesioanal selalu mengikuti
perubahan dan kemajuan dalam metode perlengkapan, tekhnologi dan sikap profesionalnya. Ini merupakan realisasi dari
pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar
Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 50).
d.
Pendidikan
ke Arah Perubahan dan Pembangunan
Pendidikan
bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan usia agar mereka mampu mengikuti
perubahan sosial dan pembangunan merupakan konsekuensi penting daripada asas
pendidikan seumur hidup. Abad ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu pengaruhnya
telah menyusup dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan masyarakat (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad
Ihsan, 1995: 50).
e.
Pendidikan
Kewargaan Negara dan Kedewasaan Politik
Tidak
saja bagi warga negara biasa, melainkan para pemimpin masyarakat pun sangat
membutuhkan pendidikan kewargaan negara dan kedewasaan politik itu. Dalam alam
pemerintahan dan masyarakat yang demokratis, maka kedewasaan warga negara dan
para pemimpinnya dalam kehidupan bernegara sangat penting. Untuk itu program
pendidikan kewargaan negara dan kedewasaan politik itu merupakan bagian yang
penting dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar
Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 51).
f.
Pendidikan
Kultural dan Pengisian Waktu Luang
Spesialisasi
yang berlebih-lebihan dalam masyarakat, bahkan yang telah dimulai pada usia
muda dalam program pendidikan formal di sekolah, membuat manusia menjadi
berpandangan sempit pada bidangnya sendiri, buta kekayaan nilai-nilai kultural
yang terkandung dalam warisan budaya masyarakat sendiri. Seorang yang disebut “educated man” harus memahami dan
menghargai sejarah, kesusastraan, agama, filsafat hidup, seni dan musik bangsa
sendiri. Sebab itu pendidikan kultural dan pengisian waktu senggang secara kultural
dan konstruktif merupakan bagian penting dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad
Ihsan, 1995: 51).
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Wujud
Sifat Hakekat Manusia
a. Kemampuan Menyadari Diri
b. Kemampuan Bereksistensi
c. Kata Hati
d. Moral
e. Tanggung Jawab
f. Rasa Kebebasan
g. Kewajiban dan Hak
h. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
2.
Aspek-Aspek
Hakekat Manusia
a. Manusia
sebagai Mahluk Tuhan
b. Manusia
sebagai Kesatuan Badan-Roh
c. Manusia
sebagai Mahluk Individu
d. Manusia
sebagai Mahluk Sosial
e. Manusia
sebagai Mahluk Berbudaya
f. Manusia
sebagai Mahluk Susila
g. Manusia
sebagai Mahluk Beragama
3.
Hubungan
Hakekat Manusia dengan Pendidikan
1. Asas-Asas Keharusan
atau Perlunya Pendidikan Bagi Manusia
a. Manusia sebagai
Mahluk yang Belum Selesai
b. Tugas dan Tujuan
Manusia adalah Menjadi Manusia
c. Perkembangan Manusia
Bersifat Terbuka
2. Asas-Asas
Kemungkinan Pendidikan
a. Asas Potensialitas
b. Asas Dinamika
c. Asas Individualitas
d. Asas Sosialitas
e. Asas Moralitas
4.
Konsep
Pendidikan Sepanjang Hayat dan Implikasinya
Konsep
pendidikan seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu
proses yang terus-menerus (continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep
ini sesuai dengan konsep islam seperti yang tercantum dalam hadist Nabi
Muhammad SAW., yang menganjurkan belajar mulai dari buaian sampai ke liang
kubur.
Implikasi Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
a. Pendidikan
Baca Tulis Fungsional
b. Pendidikan
Vokasional
c. Pendidikan
Profesional
d. Pendidikan
ke Arah Perubahan dan Pembangunan
e. Pendidikan
Kewargaan Negara dan Kedewasaan Politik
f. Pendidikan
Kultural dan Pengisian Waktu Luang
3.2
Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan
masyarakat agar dapat mengetahui tentang hakekat manusia itu seperti apa dan
bagaimana konsep pendidikan seumur hidup yang sebenarnya beserta implikasinya. Untuk
para pendidik mungkin apa yang dibahas dalam makalah ini dapat dijadikan
sebagai bahan acuan dan referensi dalam praktek mengajar di sekolah. Selain itu
dengan mengetahui hakekat manusia dan pendidikan seumur hidup, diharapkan para
pendidik bisa lebih memahami masing-masing peserta didik dalam hakekatnya
sebagai manusia dan terlebih pula mampu memberikan himbauan untuk dapat
melaksanakan pendidikan seumur hidup melihat betapa pentingnya pendidikan bagi
manusia dan mengingat dalam makalah ini sudah dibahas mengenai hal tersebut,
agar tujuan pendidikan yang memang dicanangkan dapat memperoleh hasil sesuai
harapan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad
Hasan, Drs. H. 1995. Dasar-Dasar
Kependidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Umar
Tirtarahardja, Prof. Dr. dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Wahyudin,
Dinn dkk. 2008. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Terimakasih Kang, sangat membantu :)
BalasHapusDunia Yang Akan Mewujudkan Impian Anda,Kami Akan Memberikan solusi mengatasi masalah ekonomi anda.
BalasHapusHanya Dengan Bermodalkan Kepercayaan Dan Keyakinan/TOGEL YANG TERBAIK. Kami Hadir Untuk Menjalin Tali Silatuh Rahmi,Guna Untuk Membantu Para Masyarakat Di Muka Bumi Ini ,Dengan Segala Permasalahan Yang Ada,Karena Di Dalam Masyarakat Yang Kita Tahu Saat Sekarang Ini,Masih Banyak Masyarakat Yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan,Untuk Itu,Izinkan Saya Mbah Karwo Untuk Memberikan Solusi Terbaik Untuk Anda Yang Sangat Membutuhkan.Ada Berbagai Cara Untuk Membantu Mengatasi Masalah Perekonomian,Dengan Jalan ; 1,Melalui Angka Togel Jitu ; Supranatural 2,Pesugihan Serba Bisa 3,Pesugihan Uang Balik/Bank ghaib 4,Ilmu Pengasihan 5,DLL HANYA DENGAN BERMODALKAN KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN,INSYA ALLAH ITU SEMUANYA AKAN BERHASIL SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA... Dunia yang akan mewujudkan impian anda dalam sekejab dan menuntaskan masalah keuangan anda dalam waktu yang singkat. Mungkin tidak pernah terpikir dalam hidup kita untuk menyentuh hal hal seperti ini. Ketika terpikirkan kekuasaan, uang dalam genggaman, semua bisa dikendalikan sesuai keinginan kita.Semua bisa diselesaikan secara logika.Tapi akankah logika selalu bisa menyelesaikan masalah kita. Pesugihan Mbah Karwo Mbah memiliki ilmu supranatural yang bisa menghasilkan angka angka putaran togel yang sangat mengagumkan, ini sudah di buktikan member bahkan yang sudah merasakan kemenangan(berhasil), baik di indonesia maupun di luar negeri.. ritual khusus di laksanakan di tempat tertentu, hasil ritual bisa menghasilkan angka 2D,3D,4D,5D.6D. sesuai permintaan pasien.Mbah bisa menembus semua jenis putaran togel. baik itu SGP/HK/Malaysia/Sydnei, maupun putaran lainnya. Mbah Akan Membantu Anda Dengan Angka Ghoib Yang Sangat Mengagumkan "Kunci keberhasilan anda adalah harus optimis karena dengan optimis.. angka hasil ritual pasti berhasil !! BERGABUNGLAH DAN RAIH KEMENANGAN ANDA..! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!! Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini 1. Di Lilit Hutang 2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel 3. Barang berharga Anda Sudah Habis Buat Judi Togel 4. Anda Sudah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…Selama Mentari Masih Bersinar Masih Ada Harapan Untuk Hari Esok.Kami akan membantu anda semua dengan Angka Ritual Kami..Anda Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya Saja… Apabila Anda Ingin Mendapatkan Nomor Jitu 2D 3D 4D 6D Dari Mbah Karwo Selama Lima Kali Putaran,Silahkan Bergabung dengan Uang Pendaftaran Paket 2D Sebesar Rp. 300.000 Paket 3D Sebesar Rp. 500.000 Paket 4D Sebesar Rp. 700.000 Paket 6D Sebesar Rp. 1.500.000 dikirim Ke Rekening BRI.Atas Nama:No Rekening PENDAFTARAN MEMBER FORMAT PENDAFTARAN KETIK: Nama Anda#Kota Anda#Kabupaten#Togel SGP/HKG#DLL LALU kirim ke no HP : ( 0852-3162-7267 ) SILAHKAN HUBUNGI EYANG GURU:0852-3162-7267